JALAN LURUS PERTANIAN: Memajukan Petani untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tulisan ini, meski diberi judul Jalan Lurus Pertanian, dimaksudkan untuk menggugah cara berpikir dan cara bertindak kita semua terhadap petani. Kami sangat menaruh harapan pada pemerintah dan perguruan tinggi untuk mempromosikan gagasan-gagasan berbasis petani agar persoalan- persoalan di tingkat petani dapat terselesaikan dan kemandirian petani dapat ditumbuhkembangkan. Mungkin terlalu berliku jalan lain yang ditempuh, ikutilah jalan petani ini untuk kemajuan pertanian Indonesia.
ARTIKEL
Djoni & Ferdinal Asmin
9/9/20226 min baca


Nasib Petani: Dulu, Saat Ini, dan Masa Mendatang
Banyak yang bertanya kepada Kami tentang bagaimana nasib petani. Ada yang menilai nasib petani tak berubah dari dulu sampai saat ini. Sehingga, pertanyaan itu ingin mendapatkan tanggapan senada dari Kami. Begitulah kira-kira yang ingin diketahui. Namun, Kami tidak bisa menjawab itu secara langsung. Kami hanya mengajak pada kita semua untuk memperhatikan empat hal yang perlu direnungkan.
Pertama adalah apakah ada keberpihakan untuk perlindungan dan pemberdayaan petani. Banyak orang secara personal mencoba menunjukkan keberpihakan pada petani, namun banyak pula dari mereka akhirnya berputus asa dengan upaya yang tidak kesampaian dan tidak berkesudahan. Bahkan ada diantara mereka itu juga akhirnya tak ubahnya sebagai pelengkap deritanya petani. Mungkin dulu kita berharap pemerintah menunjukkan keberpihakannya pada petani. Tapi apa daya, pemerintah pun tidak mampu melawan kehendak pasar.
Kedua adalah tingginya ketergantungan petani pada input eksternal. Petani berharap benih/bibit unggul dari pemerintah, bahkan banyak petani tergiur dengan tawaran benih/bibit berkualitas dari pihak lain dengan iming- iming produktivitas yang tinggi dan akses pasar yang luas. Dalam pemeliharaan tanaman, petani sudah tak bisa mengelak untuk menggunakan pupuk kimia dan pestisida agar tanaman mereka menghasilkan panen yang melimpah. Terbentuk sebuah persepsi, jika tidak begitu, petani tidak akan mendapatkan apa-apa dari usaha taninya.
Ketiga adalah begitu besarnya dominansi pasar terhadap keputusan petani. Yah, petani adalah objek pasar bagi banyak pihak, mulai dari hulu sampai ke hilir. Kelembagaan petani seolah tidak mampu membendung banyak intervensi pasar terhadap keputusan-keputusan kelembagaan petani. Dan yang lebih menarik, petani akhirnya menyerah pada mekanisme pasar yang diinisiasi banyak pihak.
Keempat adalah ancaman kerusakan sumber daya lahan. Akibat penggunaan bahan kimia yang berlebihan, ketidakmampuan kelembagaan petani mempertahankan keberlanjutan ekosistem lahannya serta kelengahan banyak pihak terhadap agroekosistem setempat, petani berada dalam ancaman kerusakan sumber daya lahan. Ketika lahan sudah menjadi komoditas publik, lahan seakan-akan ‘diperkosa’ untuk sebuah alasan produksi dan produktivitas. Kita semua juga seakan-akan mengabaikan hal tersebut.
Merenungkan empat hal di atas, maka kita semua dapat merasakan bagaimana nasib petani di masa mendatang. Mungkinkah nasib petani akan cerah jika hal-hal tersebut di atas masih menghinggapi kehidupan petani itu sendiri? Silahkan kita menjawabnya masing-masing. Kami hanya mengajak kita untuk meluruskan cara berpikir dan menguatkan tindakan yang benar- benar mendukung kehidupan petani.
Persoalan Krusial: Menolak Mitos
Kita sering menjebak pikiran dengan mitos-mitos. Persepsi kita selalu menyuburkan kesulitan dalam memandang sebuah masalah, termasuk berkaitan dengan petani. Jika dirumuskan sebuah masalah pada tingkat petani, itu dianggap sebagai sebuah kesulitan petani dan pemecahannya dengan mengambil peran di luar kuasa petani itu sendiri. Dan itulah kita anggap cara menolong petani.
Kami mencoba menguraikan tiga mitos yang kita anggap sebagai sebuah persoalan krusial pada tingkat petani. Pertama adalah kesulitan benih/bibit unggul dan berkualitas. Selalu kemudian jalan keluarnya adalah menyediakan benih/bibit unggul, bahkan seringkali memaksakan benih/bibit unggul yang kurang sesuai dengan agroekosistem setempat. Apalagi dengan tumbuh suburnya perusahaan-perusahaan penyedia benih/bibit, yang sering menawarkan benih/bibit unggul hasil kajian atau penelitian banyak pihak. Benih/bibit tersebut juga dijual dengan harga yang mencekik petani. Pertanyaannya adalah apakah tidak bisa petani itu sendiri memproduksi benih/bibit lokal mereka, yang pasti menjamin keunggulan dan kualitasnya terutama mengedepankan produksi lokal (setempat).
Kedua adalah kelangkaan pupuk yang terjadi saat ini. Entah apa yang sedang terjadi, pupuk subsidi untuk Sumatera Barat hanya mampu memenuhi sekitar sepertiga kebutuhan petani. Terus, untuk memenuhi kebutuhan petani, juga tumbuh subur berbagai produk pupuk yang mempromosikan keunggulannya masing-masing. Petani yang terlanjur berharap hasil panen yang melimpah, akhirnya ‘terpaksa’ membeli pupuk tersebut. Bahkan akhir- akhir ini harga pupuk juga melonjak naik. Pertanyaannya adalah kenapa kita tidak memberdayakan petani untuk memproduksi pupuk sendiri. Apakah alam sekitar petani tidak memadai untuk menghasilkan pupuk? Atau apakah tidak ada budidaya pertanian yang hemat dalam pemakaian pupuk?
Ketiga adalah alat dan mesin pertanian pada tingkat petani belum memadai. Saat ini, alokasi bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) sangat banyak diberikan pemerintah. Tentunya dengan harapan, alsintan tersebut dapat memudahkan pekerjaan petani dan meningkatkan produksi tanaman. Lumrah jika berpikir demikian, apalagi kita ingin memajukan pertanian dengan mekanisasi (sering diistilahkan dengan modernisasi). Tapi, kita perlu hati-hati karena budidaya pertanian itu menyangkut juga hubungan sosial ekonomi para petani pada sistem sosial yang berkembang di desa/nagari atau di wilayah kedudukan mereka. Pertanyaannya adalah apakah alsintan mendukung petani, atau jangan-jangan alsintan juga telah merusak sistem sosial yang ada di tingkat petani.
Kami tidak hendak mempertentangkan apa yang sudah dilakukan selama ini. Namun, sekali lagi Kami hanya ingin meluruskan. Bahkan Kami berpendapat bahwa persoalan krusial itu adalah persoalan cara berpikir dan cara bertindak. Logikanya adalah jika kehidupan petani dinilai tidak ada perubahan, maka sesungguhnya ada persoalan pada cara berpikir dan cara bertindak.
Menepis Onderdilisasi Pertanian
Berikut ini Kami ingin kembali mengulang tulisan saat menjadi narasumber pada Studi Lapangan Siswa Lemhanas RI pada bulan Agustus tahun 2022 lalu berkaitan dengan keberhasilan dan hambatan pembangunan pertanian di Sumatera Barat. Sengaja tulisan ini menggunakan istilah onderdilisasi pertanian. Hal ini sebagai sebuah pikiran kritis untuk membahas organisasi pertanian. Seringkali kita berpikir ingin memajukan organisasi pertanian, tetapi kita bertindak seakan-akan lebih ingin menggantikannya. Seharusnya kita berupaya mengambil langkah menyembuhkan, tapi prakteknya kita seringkali memaksakan tindakan pergantian, meski pergantian tersebut akhirnya kurang “senyawa” dengan tujuan awal organisasi itu sendiri. Sehingga demikian, petani hanyalah dipandang sebagai alat, bukan dipandang sebagai tujuan.
Secara filosofis, perbedaan pikiran dan tindakan dapat menjadi hambatan dalam kemajuan pembangunan pertanian di Indonesia, yang tentunya akan berimbas pada kemajuan pembangunan pertanian di daerah, termasuk Sumatera Barat. Jika memperhatikan tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka sejatinya tujuan pembangunan pertanian adalah mensejahterakan petani. Faktanya, pembangunan pertanian yang dilakukan bukan bertujuan mensejahterakan petani tapi menjadikan petani hanya sebagai faktor produksi dalam sebuah pasar pertanian yang menguntungkan pemilik modal dalam sistem pasar pertanian. Dalam kesimpulan lain yang terjadi adalah pembangunan pertanian bukan mensejahterakan petani tapi adalah onderdilisasi petani.
Dominasi pasar terhadap seluruh aspek pembangunan pertanian juga sangat dominan. Bila kita perhatikan, dominasi pasar terjadi sejak mulai pengolahan tanah, penyediaan benih, penyediaan pupuk, pengendalian OPT, pengolahan hasil, sampai pemasaran. Berbagai alasan produktivitas dikemukakan, sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan petani terhadap input-input eksternal untuk berbudidaya komoditi-komoditi pertanian. Sering juga intervensi pasar juga ‘merambah’ tenaga kerja di tingkat rumah tangga atau daerah setempat dengan alasan modernisasi. Misalnya praktek dalam modernisasi pertanian yang tidak hati-hati seperti membangun Rice Milling Plant yang berskala besar, pengunaan mekanisasi yang asal-asalan yang justru menghancurkan sistem sosial dan ekonomi masyarakat.
Padahal, sumber daya lokal tersedia secara memadai untuk mendukung pembangunan pertanian. Seharusnya, praktek-praktek budidaya pertanian yang berbasis sumber daya lokal ini ditumbuhkembangkan. Bisa dengan meningkatkan kapasitas komunitas dalam pemanfaatan sumber daya lokal atau menyediakan teknologi-teknologi skala komunitas yang memungkinkan produksi pertanian berjalan baik. Terus, kenapa pilihan kebijakan untuk memberdayakan petani agar mampu memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia tersebut kurang mendapatkan respon memadai dari Pemerintah dan Swasta.
Intervensi kebijakan Pemerintah sepertinya lebih membuka ruang bagi onderdilisasi pertanian, bukan untuk membangun organisasi pertanian yang mapan. Saluran-saluran untuk introduksi teknologi baru sepertinya mengalir deras kepada petani, tanpa ada saringan dari Pemerintah. Contohnya, saat ada introduksi benih baru yang dikatakan lebih produktif dan bernilai komersial tinggi, berbondong-bondonglah banyak pihak “merayu” petani untuk menanamnya, bahkan upaya itu banyak difasilitasi oleh pemerintah. Dan seakan-akan, Pemerintah tidak sadar bahwa apa yang sedang terjadi ternyata mendegradasi gagasan-gagasan pembangunan pertanian itu sendiri.
Onderdilisasi pertanian sebagaimana dijelaskan di atas menjadi penghambat pembangunan pertanian. Dan hal ini, membutuhkan komitmen kuat dari banyak pihak jika ingin membuat sebuah perubahan bagi kemajuan pertanian. Contohnya, khusus Sumatera Barat sendiri, memang kita memiliki keterbatasan lahan tersedia untuk pertanian karena wilayah yang berbukit dan bervegetasi hutan. Namun dengan membuka ruang kebijakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, berbagai praktek agroforestry sangat dimungkinkan untuk dikembangkan. Bahkan lebih progresif lagi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengalokasikan anggaran sekitar 10% dari APBD untuk pertanian. Ini dapat menjadi contoh komitmen dari daerah, namun ini mesti ada dukungan kebijakan dari pemerintah pusat. Dan, harapan petani adalah pemerintah membuat kebijakan yang bertujuan untuk petani, bukan untuk penguasa dan pengusaha.
Cara Berpikir dan Bertindak Hulu-Hilir Pertanian
Persoalan petani harus diselesaikan secara komprehensif dan holistik. Dan hal ini membutuhkan keseriusan dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Asumsi yang dibangun adalah persoalan petani hanya akan mampu diselesaikan oleh petani itu sendiri. Sedangkan yang lain, seharusnya mengambil peran untuk memfasilitasi petani menyelesaikan persoalan- persoalan berbasis sumber daya lokalnya.
Kami melihat sebenarnya Sumatera Barat punya preseden praktek berpikir dan bertindak hulu-hilir pertanian ini. Dalam 15 tahun yang lalu, pemecahan persoalan petani sudah menyentuh pada kebutuhan permodalan pada tingkat petani, perbaikan praktek budidaya pertanian ramah lingkungan, bahkan sampai pada pemasaran produk-produk pertanian.
Untuk memenuhi permodalan pada tingkat petani, maka dibangunlah Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang menerapkan prinsip-prinsip dan sistem kekeluargaan petani itu sendiri. LKMA seharusnya menjadi lembaga di tingkat kelompok tani atau wilayah pertaniannya yang mampu memberikan solusi kesulitan permodalan bagi petani. Bukan bermaksud mendegradasi peran bank-bank konvensional atau syariah yang ada, namun sejatinya dimaksudkan untuk memperkuat sistem kekeluargaan di tingkat petani. Semestinya, LKMA ini terus ditumbuhkembangkan, dan bukan dianggap sebagai ‘lawan tanding’ bagi lembaga-lembaga jasa keuangan lainnya.
Dan untuk memperbaiki praktek budidaya pertanian ramah lingkungan, sekolah lapang menjadi pilihan realistis untuk merangsang perubahan perilaku budidaya pada tingkat petani. Sehingga, sekolah lapang pertanian organik dan sekolah lapang pengendalian hama dan penyakit kemudian didorong. Sekolah lapang pada prinsipnya adalah upaya pemberdayaan petani agar tahu, mau, dan mampu menerapkan pertanian ramah lingkungan. Sekolah lapang mampu membangun semangat petani dan geliat pertanian ramah lingkungan tentu menjadi semakin ‘bergairah’. Untuk itu, Satuan Tugas Pertanian Organik dibentuk dan Lembaga Sertifikasi Organik didirikan di Sumatera Barat.
Selain itu, untuk mendukung pertanian ramah lingkungan, Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) juga didirikan. UPPO diharapkan dapat memproduksi pupuk pada tingkat kelompok tani sehingga kemandirian petani terhadap agro-input juga terfasilitasi. UPPO sendiri memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, seperti kotoran hewan atau bahan organik lainnya.Selanjutnya untuk menjamin kepastian pasar, Sub Terminal Agribisnis (STA) pada tingkat kelompok tani juga dibangun. STA menampung hasil panen dari petani untuk dijual pada pedagang atau pasar-pasar terdekat. Bahkan lebih progresif lagi, pada STA tersebut juga berkembang unit-unit pengolahan hasil pertanian yang mampu menghasilkan produk-produk olahan bernilai ekonomi tinggi.
Kami pikir banyak praktek-praktek hulu-hilir pertanian berbasis masyarakat lokal yang bisa menjadi contoh. Praktek-praktek yang bersumber dari kekuatan petani seharusnya difasilitasi pemerintah. Kenapa demikian? Yakinlah bahwa yang bisa menyelesaikan persoalan petani adalah petani itu sendiri.